Ngomongin Orang adalah Cara Kita Berpolitik di Keseharian

Fajar Fadhillah
3 min readApr 15, 2023

--

Ilustrasi. (Sumber: Canva)

Belakangan saya tertohok. Diomongin buruk, dan itu tidak sesuai fakta. Tapi sepertinya saya sudah sampai di usia malas untuk sakit hati, lebih enak berkontemplasi.

Toh, saya melakukannya juga dalam situasi tertentu.

Muncullah pertanyaan dalam kepala: Kenapa orang ngomongin orang? Apa signifikansinya dengan hidup yang sedang dijalani?

Menyelam seperlunya di dunia maya, banyak literasi yang menyimpulkan: Pelaku menyimpan emosi (marah, suka, cinta, ragu, dst) pada orang lain, tapi belum/tidak berani menyampaikannya langsung.

Secara sederhana saya sepakat, tapi itu belum memuaskan. Pasti ngomongin orang didasari hal-hal yang lebih kompleks.

Kewajaran dan intensitas orang ngomongin orang itu sudah hampir setara makan. Kenapa makan sangat umum? Karena signifikansi dalam hidupnya amat besar. Ngomongin orang pasti punya signifikansi yang besar.

Ngomongin orang itu pasti berkaitan dengan kepentingan, dan itulah kenapa ngomongin orang itu adalah siasat politik.

Mari kita ulas dengan kalimat sederhana Miriam Budiharjo dalam karya masyhurnya (2007) yaitu “Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang lebih baik”.

Ada tujuan, ada kepentingan saat kita memutuskan untuk ngomongin orang, sadar atau tidak disadari. Di atas atau di bawah alam sadar.

Validasi

Salah satu kepentingan dari ngomongin orang adalah validasi dari ide yang coba disampaikan. Misalnya soal keburukan orang lain, rasanya seseorang tidak mau berpendapat sendirian.

Agar subjektivitas itu terasa objektif, maka orang tersebut butuh validasi pihak lain. “Tuh kan, bukan gue doang yang mikir gitu,” dalam hatinya.

Kepentingan lainnya adalah kebutuhan pelaku akan sosok pembanding. Dalam hal ini, tujuan utamanya bukan ngomongin orang itu sendiri.

Tujuan utama dalam kepentingan ini adalah ingin meninggikan/merendahkan orang lainnya (bukan si target yang diomongin), atau bahkan diri sendiri.

Kadang pelaku merasa tidak lengkap rasanya kalau ingin memuji seseorang tanpa menjatuhkan orang lain. Kadang pelaku merasa tidak lengkap rasanya kalau ingin menjatuhkan seseorang tanpa memuji orang lain. Klaimnya akan terasa lebih tebal dan paripurna.

Begitupun untuk diri sendiri. Siasat politik seseorang paling umum adalah menjatuhkan orang di belakang, agar diri dinilai baik, dianggap lebih. Ini berkaitan dengan nafsu diri ingin dianggap sempurna.

Tapi sesungguhnya hal tersebut bisa jadi jebakan. Pelaku biasanya ngomongin buruk orang terlampau ekstrem. Seakan si target adalah manusia paling hina di palung paling dasar.

Hal tersebut akan mencerminkan level orang itu. Kesimpulan yang timbul dari menjelek-jelekan ekstrem adalah: Pelaku hanya beberapa level di atas si target ghibah, tak seberapa bagus.

Moralitas

Ngomongin orang juga adalah siasat seseorang untuk sampai ke citra moral yang paripurna. Filsuf-filsuf klasik seperti Plato dan Aristoteles menganggap politik sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat yang terbaik.

Definisi masyarakat terbaik kala itu berkaitan dengan suasana moralitas yang tinggi. Saat ini? Rasanya masih relevan. Yang paling bermoral biasanya merasa ada di takhta tertinggi, padahal mungkin hidupnya tidak punya value yang seberapa.

Sembari ngomongin orang, terkadang seseorang (pelaku) bersiasat agar dirinya berada dalam moralitas luhur, meski kadang caranya dengan merendah.

Merendah untuk meroket itu adalah siasat politik keseharian paling gampang. Gampang dilakukan, tapi gampang pula terbaca.

Kekuasaan

Tentu saja bicara politik kita tak pernah lepas dari definisi yang berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan jadi target berpolitik si oportunis.

Mulanya memang ngomongin orang adalah cara seseorang menuju hidup yang lebih baik. Tapi untuk beberapa orang, hidup yang baik adalah berkuasa,

Kekuasaan kerap dianggap sebagai posisi ideal yang harus dituju, meski kadang tidak diikuti kompetensi.

Dalam konteks meraih kekuasaan, ngomongin orang adalah cara mengeliminasi potensi-potensi lain yang bisa saja mendapat kekuasaan yang pelaku idam-idamkan.

Poin terakhir ini mungkin cukup memperjelas gagasan apa yang coba saya sajikan. Sejak ada pemahaman ini dalam diri, saya menjadi tidak begitu peduli jika ada kabar seseorang bicara buruk tentang saya, toh kepentingan yang bersangkutan bukan kepentingan saya.

--

--

No responses yet